Sabtu pagi itu, saya perhatikan cuacanya sangat cerah untuk saya
mengarungi Jakarta. Akhir-akhir ini cuaca Jakarta emang sangat ga
mendukung, membuat saya males ke mana-mana. Mungkin cuma berawan doang
sih, ga hujan. Tapi saya bakalan tetep males karena kalo jalan-jalan dan
moto suatu objek wisata dengan langit yang abu-abu karena mendung
sehingga warna bangunannya jadi agak suram karena warnanya ga “muncul”,
hasilnya ga oke. Beberapa hasil foto jalan-jalan saya kayak gitu.
Makanya kalo hari lagi mendung, saya biasanya lebih memilih jalan-jalan
kulineran doang, ga berkunjung ke suato objek wisata apa gitu. Ada
kalanya, cuaca Jakarta udah cerah nih pagi-pagi, tapi sekitar jam 1
menjelang sore, langit mulai mendung. Atau adakalanya cuacanya cerah
sepanjang hari dari pagi sampe sore, tapi eh kejadiannya pas weekday.
Kan aye kerja kantoran, bang (ngomong ama siapa sih).
Saya dateng dari arah utara terus belok ke Jalan H. Kamang di mana
museum ini berada. Setelah sekitar 350 meter, nanti di sebelah kanan ada
pintu gerbang dengan tulisan Museum Layang-Layang
Indonesia. Parkirannya sepi banget deh, cuma ada sebuah mobil dan sebuah
sepeda motor lain yang terparkir di sana. Belakangan saya ketahui bahwa
sepeda motor tersebut digunakan oleh sepasang cowok cewek yang
kemungkinan pacaran, sementara mobil dibawa oleh pasangan orang Jepang
yang membawa anaknya.
Di loket saya lalu membayar tiket masuk sebesar 15 ribu rupiah.
Mahal? Relatif lah. Lagipula museum ini dikelola oleh pribadi. Termasuk
di dalam tiket ini, kita nantinya bisa nonton video tentang
layang-layang selama lebih kurang 15 menit, dapet tour gratis di dalem
museum, dan setelahnya bisa berkreasi membuat layang-layang sendiri.
Ruang audiovisual sangat sederhana, menyediakan beberapa kursi dengan
sistem multimedia seadanya yang seengganya bisa mencapai tujuan
minimalnya, yaitu menyampaikan sejarah dan serba-serbi tentang
layang-layang kepada para pengunjung melalui video berdurasi sekitar 15
menit.
Abis nonton, saya disambut oleh bu ibu dengan kostum biru, kostum
pegawai museumnya, dan langsung membawa saya bersama si sepasang sejoli
tadi melewati serambi, memasuki ruang koleksi museum. Layang-layang yang
menjadi koleksi berasal dari seluruh pelosok Nusantara dan
mancanegara. Ruangan museum sangat sederhana, hanya terdiri dari sebuah
ruangan besar berbentuk persegi dan sebuah ruangan lagi yang lebih
kecil. Di ruangan besar ini dipamerkan berbagai layangan khas Nusantara
dari Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Madura, Sulawesi Tenggara, dan lain-lain.
Dari segi bentuk, ada layang-layang dua dimensi, contohnya kayak
layangan yang biasa kita mainin pas anak-anak, dan layang-layang tiga
dimensi, ada yang berbentuk rumah, perahu layar, burung, ikan, delman,
capung, laba-laba, Dewi Sri, hingga naga bersusun. Layang-layang tiga
dimensi biasanya bertema dan diterbangkan pada acara festival
layang-layang nasional maupun internasional.
Kendaraan beroda tiga ini digunakan untuk menerbangkan layang-layang
jenis quadrifoil. Si pelayang nantinya duduk di sini sambil
mengendalikan layang-layang. Pengendaranya harus hafal dan mengerti arah
angin supaya tidak terguling saat mengendarainya. Wah, ternyata ada ya
ilmu mempelajari karakteristik angin. Layang-layang yang dibawakan
merupakan jenis layang-layang untuk olahraga yang untuk mengendalikannya
menggunakan dua utas benang. Uniknya, di video yang tadi saya tonton,
layang-layangnya bisa dibuat berputar-putar, atau bahkan seolah berjalan
dan melompat-lompat.
Konon, di Gua Muna di Sulawesi Tenggara ada lukisan prasejarah
berusia antara 5 hingga 9 ribu tahun yang menunjukkan figur yang sedang
bermain layangan. Jika klaim ini benar adanya, maka bisa dikatakan
layangan berasal dari Indonesia, dan bukan Cina seperti yang selama ini
umum diketahui. Layangan tradisional sendiri dibuat dari bahan helaian
daun yang disatukan dengan serat nanas. Daun yang digunakan berbeda-beda
tergantung daerah asalnya, di Bali dari daun lontar, di Jawa Timur dari
daun dadap, di Manado dari pelepah pisang. Layang-layang ini lalu
dipasang alat bunyi koangan yang berbentuk seperti busur panah dan
digunakan untuk mengusir burung di sawah.
Pendiri Museum Layang-Layang, Ibu Endang Ernawati, adalah seorang
pakar kecantikan yang kemudian menekuni dunia layang-layang sejak tahun
1985. Berbagai festival layang-layang di dalam dan luar negeri telah
diikutinya dan bahkan meraih gelar juara. Karena rasa cintanya yang
mendalam, pada tahun 1993 ia mendirikan museum ini. Sebagai museum
layang-layang satu-satunya di Indonesia, museum milik pribadi ini
berupaya untuk melestarikan budaya layang-layang yang unik dari setiap
wilayah di Indonesia.
Di ruangan kecil yang berada di seberang pintu masuk gedung museum,
ada berbagai koleksi layangan dari mancanegara, semisal dari Cina,
Malaysia, Thailand, Korea, Pakistan, India, Jepang, Turki, dan Swedia.
Di berbagai tempat, layangan berkaitan juga dengan tradisi dan budaya.
Di jepang, apabila melahirkan anak pertama laki-laki maka di atas
rumahnya akan diterbangkan layang-layang. Di Korea, layangan digunakan
untuk mengusir roh jahat. Di Bali, digunakan untuk memanggil hujan yang
ritualnya diadakan setahun sekali. Di Lampung, layangan bahkan digunakan
untuk memancing ikan layur. Unik banget yah?
Layangan lain yang unik adalah layangan yang diberi nama Dandang Laki
dan Dandang Bini yang berasal dari Kalimantan Selatan. Layangan yang
dijadikan simbol pernikahan ini dipasang di pelaminan, lalu setelah
acara selesai, layangan akan diterbangkan di lapangan luas. Pada kedua
pundak (pundak?) layangan dipasang koangan berbentuk tabung bambu kayak
kentongan yang akan berdengung keras saat terbang di angkasa. Konon
layangan ini terinspirasi dari burung Enggang yang dikeramatkan oleh
Suku Dayak.
Kalo diperhatiin, kebanyakan bentuk layang-layang tradisional
berbentuk seperti elips dengan kedua ujung yang melancip. Terkadang
dengan tambahan ekor berbentuk bulan sabit. Lucunya, hampir semua
layangan yang berasal dari setiap daerah bentuknya seperti ini. Katanya
sih memang karena bentuk ini yang paling stabil saat diterbangkan. Jadi
penasaran, saya yang ga bisa maen layangan ini, kira-kira bisa ga ya
nerbangin layangan jenis ini? Hehehe…
Setelah keliling museum, kita diajak membuat layangan sendiri, gratis
karena termasuk di paket tiketnya. Tapi karena saya ga terlalu
berminat, saya nonton aja. Kerangka layang, yang kalo kamu sering ngisi
TTS pasti tau kalo namanya disebut arku, udah jadi. Jadi pengunjung cuma
tinggal nempelin kertasnya aja dan menggambarinya untuk hiasan.
Kegiatan yang cocok buat krucil-krucil, tapi kalo saya sih males.
Karena mau ngelanjutin perjalanan lagi ke Museum Basoeki Abdullah
yang berjarak lebih kurang 2.6 km dari sini. Sekalian lah, karena kedua
museum ini letaknya di ujung Jakarta, jauh banget dari kosan saya. Dan
karena udah memasuki waktu shalat zuhur, saya pun menunaikan shalat di
musholla museum yang sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar