Rabu, 14 Maret 2018

Model-model layangan

Sabtu pagi itu, saya perhatikan cuacanya sangat cerah untuk saya mengarungi Jakarta. Akhir-akhir ini cuaca Jakarta emang sangat ga mendukung, membuat saya males ke mana-mana. Mungkin cuma berawan doang sih, ga hujan. Tapi saya bakalan tetep males karena kalo jalan-jalan dan moto suatu objek wisata dengan langit yang abu-abu karena mendung sehingga warna bangunannya jadi agak suram karena warnanya ga “muncul”, hasilnya ga oke. Beberapa hasil foto jalan-jalan saya kayak gitu. Makanya kalo hari lagi mendung, saya biasanya lebih memilih jalan-jalan kulineran doang, ga berkunjung ke suato objek wisata apa gitu. Ada kalanya, cuaca Jakarta udah cerah nih pagi-pagi, tapi sekitar jam 1 menjelang sore, langit mulai mendung. Atau adakalanya cuacanya cerah sepanjang hari dari pagi sampe sore, tapi eh kejadiannya pas weekday. Kan aye kerja kantoran, bang (ngomong ama siapa sih).
DSCF8156 (1280x853)
Saya dateng dari arah utara terus belok ke Jalan H. Kamang di mana museum ini berada. Setelah sekitar 350 meter, nanti di sebelah kanan ada pintu gerbang dengan tulisan Museum Layang-Layang Indonesia. Parkirannya sepi banget deh, cuma ada sebuah mobil dan sebuah sepeda motor lain yang terparkir di sana. Belakangan saya ketahui bahwa sepeda motor tersebut digunakan oleh sepasang cowok cewek yang kemungkinan pacaran, sementara mobil dibawa oleh pasangan orang Jepang yang membawa anaknya.
DSCF8159 (2560x880)
DSCF8160 (1280x854)
Di loket saya lalu membayar tiket masuk sebesar 15 ribu rupiah. Mahal? Relatif lah. Lagipula museum ini dikelola oleh pribadi. Termasuk di dalam tiket ini, kita nantinya bisa nonton video tentang layang-layang selama lebih kurang 15 menit, dapet tour gratis di dalem museum, dan setelahnya bisa berkreasi membuat layang-layang sendiri.
DSCF8207 (1280x853)
Ruang audiovisual sangat sederhana, menyediakan beberapa kursi dengan sistem multimedia seadanya yang seengganya bisa mencapai tujuan minimalnya, yaitu menyampaikan sejarah dan serba-serbi tentang layang-layang kepada para pengunjung melalui video berdurasi sekitar 15 menit.
DSCF8199 (1280x853)
DSCF8186 (1280x853)
Abis nonton, saya disambut oleh bu ibu dengan kostum biru, kostum pegawai museumnya, dan langsung membawa saya bersama si sepasang sejoli tadi melewati serambi, memasuki ruang koleksi museum. Layang-layang yang menjadi koleksi berasal dari seluruh pelosok Nusantara dan mancanegara. Ruangan museum sangat sederhana, hanya terdiri dari sebuah ruangan besar berbentuk persegi dan sebuah ruangan lagi yang lebih kecil. Di ruangan besar ini dipamerkan berbagai layangan khas Nusantara dari Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Sulawesi Tenggara, dan lain-lain.
DSCF8198 (853x1280)
Dari segi bentuk, ada layang-layang dua dimensi, contohnya kayak layangan yang biasa kita mainin pas anak-anak, dan layang-layang tiga dimensi, ada yang berbentuk rumah, perahu layar, burung, ikan, delman, capung, laba-laba, Dewi Sri, hingga naga bersusun. Layang-layang tiga dimensi biasanya bertema dan diterbangkan pada acara festival layang-layang nasional maupun internasional.
DSCF8167 (1280x854)
Kendaraan beroda tiga ini digunakan untuk menerbangkan layang-layang jenis quadrifoil. Si pelayang nantinya duduk di sini sambil mengendalikan layang-layang. Pengendaranya harus hafal dan mengerti arah angin supaya tidak terguling saat mengendarainya. Wah, ternyata ada ya ilmu mempelajari karakteristik angin. Layang-layang yang dibawakan merupakan jenis layang-layang untuk olahraga yang untuk mengendalikannya menggunakan dua utas benang. Uniknya, di video yang tadi saya tonton, layang-layangnya bisa dibuat berputar-putar, atau bahkan seolah berjalan dan melompat-lompat.
DSCF8169 (1280x854)
Konon, di Gua Muna di Sulawesi Tenggara ada lukisan prasejarah berusia antara 5 hingga 9 ribu tahun yang menunjukkan figur yang sedang bermain layangan. Jika klaim ini benar adanya, maka bisa dikatakan layangan berasal dari Indonesia, dan bukan Cina seperti yang selama ini umum diketahui. Layangan tradisional sendiri dibuat dari bahan helaian daun yang disatukan dengan serat nanas. Daun yang digunakan berbeda-beda tergantung daerah asalnya, di Bali dari daun lontar, di Jawa Timur dari daun dadap, di Manado dari pelepah pisang. Layang-layang ini lalu dipasang alat bunyi koangan yang berbentuk seperti busur panah dan digunakan untuk mengusir burung di sawah.
my eat and travel story
Pendiri Museum Layang-Layang, Ibu Endang Ernawati, adalah seorang pakar kecantikan yang kemudian menekuni dunia layang-layang sejak tahun 1985. Berbagai festival layang-layang di dalam dan luar negeri telah diikutinya dan bahkan meraih gelar juara. Karena rasa cintanya yang mendalam, pada tahun 1993 ia mendirikan museum ini. Sebagai museum layang-layang satu-satunya di Indonesia, museum milik pribadi ini berupaya untuk melestarikan budaya layang-layang yang unik dari setiap wilayah di Indonesia.
DSCF8185 (1280x853)
Di ruangan kecil yang berada di seberang pintu masuk gedung museum, ada berbagai koleksi layangan dari mancanegara, semisal dari Cina, Malaysia, Thailand, Korea, Pakistan, India, Jepang, Turki, dan Swedia. Di berbagai tempat, layangan berkaitan juga dengan tradisi dan budaya. Di jepang, apabila melahirkan anak pertama laki-laki maka di atas rumahnya akan diterbangkan layang-layang. Di Korea, layangan digunakan untuk mengusir roh jahat. Di Bali, digunakan untuk memanggil hujan yang ritualnya diadakan setahun sekali. Di Lampung, layangan bahkan digunakan untuk memancing ikan layur. Unik banget yah?
DSCF8192 (1280x854)
Layangan lain yang unik adalah layangan yang diberi nama Dandang Laki dan Dandang Bini yang berasal dari Kalimantan Selatan. Layangan yang dijadikan simbol pernikahan ini dipasang di pelaminan, lalu setelah acara selesai, layangan akan diterbangkan di lapangan luas. Pada kedua pundak (pundak?) layangan dipasang koangan berbentuk tabung bambu kayak kentongan yang akan berdengung keras saat terbang di angkasa. Konon layangan ini terinspirasi dari burung Enggang yang dikeramatkan oleh Suku Dayak.
DSCF8190 (854x1280)
Kalo diperhatiin, kebanyakan bentuk layang-layang tradisional berbentuk seperti elips dengan kedua ujung yang melancip. Terkadang dengan tambahan ekor berbentuk bulan sabit. Lucunya, hampir semua layangan yang berasal dari setiap daerah bentuknya seperti ini. Katanya sih memang karena bentuk ini yang paling stabil saat diterbangkan. Jadi penasaran, saya yang ga bisa maen layangan ini, kira-kira bisa ga ya nerbangin layangan jenis ini? Hehehe…
DSCF8178 (1280x854)
Setelah keliling museum, kita diajak membuat layangan sendiri, gratis karena termasuk di paket tiketnya. Tapi karena saya ga terlalu berminat, saya nonton aja. Kerangka layang, yang kalo kamu sering ngisi TTS pasti tau kalo namanya disebut arku, udah jadi. Jadi pengunjung cuma tinggal nempelin kertasnya aja dan menggambarinya untuk hiasan. Kegiatan yang cocok buat krucil-krucil, tapi kalo saya sih males.
DSCF8229 (1280x853)
DSCF8231 (1280x855)
Karena mau ngelanjutin perjalanan lagi ke Museum Basoeki Abdullah yang berjarak lebih kurang 2.6 km dari sini. Sekalian lah, karena kedua museum ini letaknya di ujung Jakarta, jauh banget dari kosan saya. Dan karena udah memasuki waktu shalat zuhur, saya pun menunaikan shalat di musholla museum yang sederhana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar